ASN
Pasca Pilkada 2018
(Ketua HIMA HAN FH-UNAND)
(Ketua HIMA HAN FH-UNAND)
Pasca pilkada 27 Juni kemarin, Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 500 kasus pelanggaran netralitas ASN pada penyelenggaraan pilkada
serentak 2018. Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menjelaskan, ada tiga
daerah dengan kasus ASN tidak netral terbanyak. Ketiga daerah tersebut adalah
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. Di Sulawesi Selatan terdapat
32 kasus dan di Sumatera Utara terdapat 31 kasus dan sisanya tersebar di daerah
lainnya (TEMPO.CO, 26 Juni 2018).
Selain itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) juga menemukan dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada 2018. Peneliti KPPOD
Aisyah Nurul mengatakan dugaan pelanggaran ditemukan di semua wilayah tersebut.
Terdapat dua bentuk pelanggaran berbeda yang ditemukan yaitu adanya “politisasi
birokrasi” dan “birokrasi berpolitik” (TEMPO.CO, 24 Juni
2018).
Dari
pengaduan pelanggaran netralitas yang diterima Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN), sebanyak 80 orang ASN terlibat aktif dalam politik praktis di lima
lokasi penelitian. Mayoritas dari mereka diketahui berkampanye di media sosial,
ikut deklarasi dan ikut kampanye (TEMPO.CO, 24 Juni 2018).
Politisasi birokrasi kerap dilakukan incumbent maupun tim sukses untuk
mengintervensi birokrasi melalui program, kegiatan, dan mobilisasi ASN. Salah
satunya melalui penempatan jabatan seperti mutasi, demosi, dan promosi. Bentuk
politisasi birokrasi lain yang sering digunakan adalah pemanfaatan program dan
anggaran. Penggunaan dana publik melalui dana hibah dan bantuan sosial kerap
dimanfaatkan incumbent untuk
kampanye.
Pelanggaran netralitas ASN yang lain adalah
berbentuk birokrasi berpolitik. Ada perilaku ASN yang kerap memiliki motif
politik dengan kandidat kepala daerah. Biasanya, ASN ingin mencapai jabatan
tertentu atau mempertahankan posisinya yang sudah strategis.
Dari fakta dan data diatas tentunya sangat
kita sesali bersama bahwa ternyata ASN tidak lepas dari pelanggaran netralitas
dalam pilkada tahun 2018 ini. Padahal, hal itu tidaklah dibenarkan dilakukan
oleh ASN. Karena ASN merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan
administrasi pemerintahan. ASN merupakan orang yang bekerja untuk negara dan
digaji oleh negara untuk memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.
Padahal Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) diakhir Desember 2017 yang lalu, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE)
Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN dalam
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, Pileg 2019 dan Pilpres 2019. Salah satu
poin pokok yang dijabarkan dalam SE Menpan RB ini adalah Pasal 11 huruf c
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik PNS, yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal etika terhadap diri sendiri,
PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan“.
Dalam
surat edaran tersebut Setidaknya ada tujuh bentuk larangan bagi ASN yang coba
dikonstruksi oleh Pemerintah berdasarkan PP 42 tahun 2004 tersebut. Pertama,
melakukan pendekatan kepada Partai Politik (Parpol) terkait rencana pengusulan
dirinya atau orang lain sebagai bakal calon. Kedua, memasang spanduk/baliho yang
mempromosikan dirinya atau orang lain. Ketiga, mendeklarasikan dirinya sebagai
bakal calon.
Keempat, menghadiri deklarasi bakal
pasangan calon, dengan atau tanpa atribut. Kelima, mengunggah foto atau
menanggapi (like, share, komentar dan sejenisnya) semua hal yang terkait dengan
pasangan calon di media online dan media sosial. Keenam, berfoto bersama dengan
pasangan calon. Dan ketujuh, menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan
pertemuan parpol.
Maka dari itu, ASN harusnya bersih dari
keterlibatan politik praktis. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2)
UU ASN yang menyatakan bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi
semua golongan dan partai politik
Banyaknya pelanggaran netralitas yang
dilakukan ASN menurut penulis diakibatkan oleh kondisi ASN yang berada di posisi yang sulit
pada setiap pilkada. Dimana tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada secara langsung
menempatkan ASN pada posisi yang sulit dan dilematis. Para ASN seperti memakan buah simalakama.
Di satu sisi, mereka punya hak pilih.
Sementara di sisi lain mereka tidak diperbolehkan mendukung pasangan calon
manapun. Jangankan mendukung berfoto saja tidak boleh. Mereka dituntut untuk netral.
Segala gerak-gerik mereka, baik lisan maupun tulisan, diawasi. Dan bagi ASN
yang melanggar akan diberikan sanksi.
ASN dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Pilihan mereka ada dua, mempertahankan netralitas atau ikut turut terlibat di
pilkada. Keduanya punya resiko yang tidak mudah. Namun, karena perjalanan karir
mereka amat ditentukan oleh pemenang pilkada. ASN mau tidak mau mesti memilih
salah satu paslon.
Netral bukanlah pilihan yang menguntungkan.
Sementara keberpihakan menjanjikan kelangsungan atau kenaikan pangkat. Maka
dari itulah, sudah menjadi rahasia umum jika ASN nekat menjadi tim sukses
“siluman”, tidak tampak dipermukaan, tetapi nyata dalam pergerakan. Mereka
aktif terlibat dibelakang layar. Namun, tidak sedikit juga ASN yang terlibat
politik secara terang-terangan dipermukaan.
Maka,
sesuai dengan amanat yang tertuang dalam dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
tentang ASN, Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota, PP No. 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan
kode etik pegawai negeri sipil, serta PP No. 53 Tahun 2010 tentang peraturan
disiplin pegawai negeri sipil. Bagi ASN yang melanggar diatas maka akan
dikenakan sanksi berupa sanksi moral dan sanksi administrasi.
Sanksi moral berupa pernyataan secara tertutup
atau terbuka. Sanksi moral ini dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh
pejabat pembina kepegawaian. Sanksi moral ini bisa jadi tidak begitu
diperhitungkan. Tetapi tindakan administratif setidaknya bisa membuat ASN jera
dan menyesali kesalahannya. Tindakan administratif berupa hukuman disiplin
tingkat sedang atau berat.
Hukuman
disiplin tingkat sedang dapat berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama
satu tahun; penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun; penurunan pangkat
setingkat lebih lebih rendah selama satu tahun. Sedangkan, hukuman disiplin
tingkat berat seperti; penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga
tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan; bahkan
ASN dapat pula diberhentikan sebagai ASN.
Maka
dari itu penulis berharap bahwa bagi setiap ASN yang melakukan pelanggaran
selama pilkada 2018 ini benar-benar dapat ditindak secara tegas dan adil sesuai
aturan yang berlaku. Diberikan sanksi yang tegas sesuai jenis dan tingkatan
pelanggaran yang dilakukannya. Agar dapat menjadi pelajaran bagi dirinya dan
bagi ASN lainnya sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.
Dengan begitu kita berharap dan menginginkan agar kedepannya ASN dapat
menjalankan tugas dan kewajibannya dengan semestinya dan dengan sebaik-baiknya.
(Tulisan ini telah dimuat di kolom
opini Koran harian Haluan, 11 Juli 2018)
Komentar
Posting Komentar