Tinggal menunggu waktu, Joko
Widodo sudah bisa dipastikan memimpin
Indonesia untuk kedua kalinya. Pasalnya Minggu, 30 Juni 2019 pasangan Joko
Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin resmi ditetapkan oleh KPU sebagai presiden dan
wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024. Setelah sebelumnya melewati
proses persidangan sengketa hasil Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi yang
cukup menyita perhatian publik, serta diwarnai perdebatan dan drama yang
menegangkan.
Pada saat yang sama, para
penantang yang kalah, yakni kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden
nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berikut barisan koalisinya,
gundah dan dilema. Kemanakah layar mereka akan tertuju? Bergabung bersama
penguasa atau menjadi oposan?. Menjadi
oposisi yang loyal atau menjadi oposisi yang setengah hati? atau tidak menjadi dua-duanya?.
Oposisi
dapat dipahami sebagai gabungan partai-partai politik di DPR yang berseberangan
dengan pemerintah. Wacana oposisi kemungkinan besar akan muncul sebagai bagian
dari berita politik, setidaknya sampai pemerintahan baru berjalan Oktober
kelak. Wacana oposisi juga akan dipakai sebagai tawar menawar partai untuk
mendapatkan jatah menteri di kabinet.
Persoalan
tentang kemana partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiagaa Uno pasca penetapan
memang kerap jadi pertanyaan. Soalnya, dua dari empat partai yang ada di kubu
Koalisi Adil Makmur tampak mulai main mata dengan Koalisi Indonesia Kerja. Demokrat
misalnya, tampak setengah hati sejak awal. Sementara PAN kerap bersuara beda
setelah pencoblosan.
Oposisi loyal sebagaimana yang dimaksudkan
Maurice Duverger (dalam Budiardjo, 1996:68) adalah partai politik yang
mengambil posisi di luar pemerintah karena kalah dalam Pemilu dan bertindak
sebagai pengecam tetapi setia (loyal oposition) pada kebijaksanaan partai yang
duduk di pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu bisa
bertukar tangan. Bertukar tangan dalam hal ini maksudnya, melalui mekanisme
Pemilu.
Sikap oposisi loyal sejatinya melahirkan sikap kritis,
korektif yang objektif dalam bingkai aturan main dan menjadikan pembangunan
sebagai cita-cita bersama. Sikap kritis dan korektif yang objektif dapat
menghindarkan terjadinya “sandiwara politik” yang hakikatnya mengelabui
rakyat.
Jika melihat situasi politik kekinian, memang hanya
ada dua
partai yang diprediksi akan menjadi
oposisi loyal. Gerindra secara akal sehat tentu akan tetap di oposisi dan PKS
sejak awal memang sudah tegas tetap akan
berdiri di garis oposisi yang kritis dan konstruktif. Maka dua partai inilah
kedepan akan sama-sama kita saksikan sepak terjangnya sebagai oposan sejati.
Sebagai penyeimbang dalam demokrasi di negara ini.
Jika Partai Gerindra dan PKS sudah menasbihkan diri
sebagai partai oposisi, maka mulai saat ini kedua partai ini harus meningkatkan
kualitas kritiknya terhadap pemerintah. Sebab beroposisi juga suatu pilihan
politik yang mulia dan akan lebih lebih bermartabat jika dilakukan dengan
sepenuh hati. Ketika banyak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada
rakyat, maka harus dilakukan perlawanan yang keras di parlemen.
Jangan sampai para elit Partai Gerindra dan PKS
hanya sebatas menyampaikan kritik, baik melalui mikrofon di parlemen maupun menyebar
pernyataan sikap ke awak media saja. Mengklaim sebagai oposisi, tetapi sepi
dari gerakan politik. Tidak memiliki watak oposisi yang kuat. Semuanya serba
biasa-biasa saja, melontarkan kritik sekedarnya saja. Sebagai partai politik
harusnya Partai Gerindra dan PKS harus bisa bertindak lebih garang.
Selain itu, Prabowo Subianto yang didaulat menjadi
Ketua Umum Partai Gerindra dan sekaligus mantan calon Presiden, jangan sampai
menghilang begitu saja dari kancah perpolitikan nasional. Keberadannya jangan hanya
muncul dalam ulang tahun Partai Gerindra dan sesekali menghadiri acara partai
politik tertentu saja . Setelah itu menghilang kembali.
Mestinya setelah kalah dalam pilpres, Prabowo
Subianto tidak begitu saja meninggalkan gelanggang politik. Keberadaanya sangat
dibutuhkan untuk memacu gerakan partai oposisi. Prabowo dibutuhkan untuk tampil
sebagai pemimpin oposisi sebagaimana dulu Megawati tampil di depan menghadapi
pemerintahan SBY. Klaim oposisi yang disuarakan oleh para petinggi Partai
Gerindra dan PKS haruslah dibarengi dengan gerakan politik riil, baik di dalam
maupun di luar parlemen.
Oposisi Setengah hati justru sebaliknya. Diawal
tegas menyatakan diri oposisi. Menjadi bagian dari penentang pemerintah. Tetapi
setelah berjalannya waktu, mulai berkilah dan mencoba mendua, merapat ke kubu
pemerintah. Tidak konsisten dalam sikap politiknya. Dan melihat situasi
perpolitikan saat ini, penulis sendiri memprediksi
ke depan Partai Demokrat dan PAN akan menjadi oposisi setengah hati.
Oposisi setengah hati terjadi
karena orientasi utama dari
partai tersebut adalah untuk memperebutkan kursi dan kekuasaan, bukan untuk kemajuan
bangsa dan negara. Di sisi lain penyebabnya karena ketidaktegasan ideologi yang
dimiliki oleh suatu partai. Harusnya partai politik bergerak untuk kepentingan
rakyat bukan untuk kepentingan elite-nya saja. Jangan hanya PKS dan Gerindra
saja yang menjadi penyeimbang. Demokrasi yang sehat dan maju butuh kekuatan
penyeimbang yang signifikan dalam rangka membangun kritik dan pengawasan jalannya
pemerintahan.
Menjadi kelompok oposisi bukanlah posisi yang nyaman
dan mudah. Dan pola berpikir kelompok oposisi kedepan harus dirubah, yang
awalnya oposan hanya menjadi pengkritik atau penonton di luar lapangan, harus
juga mampu untuk turun ke lapangan dan bersama dengan pemerintah untuk
berkolaborasi. Sehingga keseimbangan dan percepatan pembangunan negara akan
lebih cepat dan mudah dicapai.
Dan juga yang perlu
digarisbawahi, bahwa semuanya mesti dijalankan senantiasa dalam koridor
konstitusional.
Komentar
Posting Komentar