LAWAN
POLITIK UANG, LAWAN KORUPSI !
Pilkada serentak jilid 3 tahun ini akan memasuki fase-fae
krusial. Meskipun pemungutan suara baru dilakukan 27 Juni mendatang. Namun,
tahapan penyeleggaraannya sudah dimulai. Dan terhitung sejak tanggal 15
Februari sampai 23 Juni 2018 adalah fase-fase yang menegangkan. Dimana pada
rentang waktu itu adalah fase dimana para pasangan calon akan melakukan
kampanye untuk menarik simpati masyarakat.
Dalam pelaksaanya, pilkada di
Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang
dinilai sebagai pesta demokrasi pun ternyata belum bisa mengimplementasikan
sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena didalam proses pelaksanaannya,
pilkada masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh kandidat pilkada maupun
partainya sendiri. Salah satu kecurangan pilkada adalah politik uang atau Money Politic.
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu
pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau
barang. Politik uang umumnya dilakukan oleh pasangan calon, simpatisan, kader
atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H
pemilihan. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang
dan barang berupa sembako kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati
masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk pasangan calon atau partai yang bersangkutan
(Wikipedia,16 Februari 2018).
Melihat pada praktik penyelenggaraan pilkada
pada tahun sebelumnya, hingga hari ini, politik uang tampaknya masih menjadi
musuh utama demokrasi. Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2015 Bawaslu mencatat
terdapat 311 kasus. Pada tahun 2017 justru lebih buruk lagi, Bawaslu menemukan
600 dugaan politik uang (Kompas.com, 14 Februari 2017).
Bahkan, awal tahun ini, meskipun
helatan Pilkada 2018 belum dimulai KPK telah menerima laporan adanya indikasi
politik uang (Liputan6.com, 9 Januari 2018).
Suburnya prilaku koruptif ini juga tidak lepas dari cara pandang
masyarakat yang masih permisif. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan
oleh pengamat politik Teguh Yuwono, ,sebanyak 70 persen pemilih mengharapkan
adanya politik uang (Tempo.co, 19 September 2016).
Legalkan korupsi
Barangkali sudah menjadi rahasia umum dan
menjadi kekhawatiran bersama di setiap perhelatan pemilu dan pilkada. Karena
selalu saja terjadi disetiap perhelatan pesta demokrasi tersebut. Dimana para
elite politik yang bersaing tak jarang mengambil jalan pintas dengan melakukan
politik uang. Demi kemenangan,
prilaku koruptif ini terus dilakukan. Motif dan caranya pun kian bervariasi,
seiring dengan ketatnya regulasi. Tentunya ini sebuah tindakan yang tidak
terhormat dan mencoreng citra dari demokrasi itu sendiri
Praktik politik uang di bangsa ini memang
mengerikan. Maka tak salah, jika seorang pakar politik dari University of
California, Gary Jacobson pernah menyatakan “Money
is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is
necessary because campaigns do have impact on election results and campaign
cannot be run without it” ( Fahmi Bado & Lucky Djani, 2010). Sehingga
cita-cita demokrasi yang diharapkan pun belum bisa diwujudkan sepenuhnya karena
implementasi sistem demokrasi yang belum matang.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang pilkada telah diatur secara tegas sanksi bagi orang yang melakukan
politik uang, baik pasangan calon dan tim sukses pasangan calon. Dimana Dalam
pasal 187A disebutkan "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara
Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi
Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara
tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak
memilih calon tertentu sebagaimana pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh
puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."
Ketentuan sanksi dalam Undang-undang pilkada
diatas menurut penulis sudah tegas mengatur setiap tindakan politik uang yang
dilakukan baik oleh pasangan calon maupun tim sukses pasangan calon. Terlebih
lagi dalam undang-undang ini telah memuat ketentuan sanksi pidana bagi setiap
pelaku politik uang. Maka hal itu seharusnya dapat menjadi ancaman dan “lampu
merah” bagi setiap pasangan calon atau tim sukses pasangan calon untuk tidak
melakukan perilaku curang dan tidak jujur tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Masa
kampanye yang diberikan semestinya digunakan dan dijalankan dengan cara-cara
sehat dan jujur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan melakukan kampanye dengan membagi-bagikan uang dan barang adalah
perbuatan yang tidak mendidik dan justru
melegalkan praktik korupsi. Karena hal itu jauh dari esensi dari nilai kampanye
yang tidak ada nilai mendidiknya sama sekali. Sedang dalam korupsi sudah jelas
yang memberi dan menerima sama-sama dapat dikenakan sanksi pidana.
Melawan Praktik Politik Uang
Ciri khas demokrasi adalah adanya kebebasan
(freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan rakyat (people’s
sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah
paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai
dengan norma hukum yang ada. Dengan demikian adanya praktik politik uang
berdampak terhadap tercemarnya prinsi-prinsip demokrasi. Suara hari nurani
seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli hanya demi kepentingan
dan ambisi pribadi yang sesaat.
Menurut
hemat penulis ada banyak faktor yang menyebabkan para elit politik dalam
pilkada melakukan politik uang. Salah
satu penyebab kenapa praktik politik uang kian menjamur adalah karena mahalnya “ongkos” yang harus dikeluarkan oleh
para calon dalam kontes demokrasi ini. Hasil kajian Litbang Kemendagri
menunjukkan bahwa untuk menjadi walikota/bupati membutuhkan biaya 20 – 30
miliar. Sementara itu, untuk menjadi gubernur, biayanya lebih mahal lagi,
bahkan mencapai 100 miliar (Tirto.id, 7 Oktober 2016).
Dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
selama proses pilkada tersebut, sehingga membuat kepala daerah yang terpilih
tak jarang melakukan korupsi dikemudian hari. Data yang dilansir KPK
menunjukkan, sejak tahun 2004 hingga tahun 2017 sebanyak 87 kepala daerah
menjadi tersangka kasus korupsi (acch.kpk.go.id, 30 November 2017).
Hal
itu memang tidak dapat dipungkiri. Karena ada upaya “balik modal” yang
dilakukan oleh para kepala daerah setelah ia terpilih akibat begitu banyak
modal yang ia keluarkan dalam melakukan politik uang dalam proses pilkada. Maka
dengan begitu jelaslah bahwa politik uang ini tidak dapat dibiarkan, haruslah
dilawan dan ditumpas karena dampaknya yang begitu besar terhadap negara ini
dimasa yang akan dating.
Dengan begitu jelas dahsyatnya
dampak politik uang terhadap negeri ini maka sudah seharusnya kita sadar dan
menyadarkan masyarakat untuk menolak setiap bentuk praktik politik uang
ini. Karena dengan kita membiarkan
praktik politik uang ini hadir ditengah-tengah kita, berarti sama halnya dengan
kita membentangkan “karpet merah” terhadap praktik korupsi di negeri ini. Karena
praktik ini akan menciptakan potensi tindakan korupsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Politik uang haruslah kita lawan dengan kita jadikan
sebagai “musuh bersama”.
Semua stakeholder yang ada harus berperan aktif dalam memberantas politik
uang ini. Tentunya tidak hanya Bawaslu dan Panwaslu saja, melainkan semua pihak
baik dari para pasangan calon dan terutama juga masyarakat. Masyarakat harus
berperan aktif melaporkan setiap praktik politik uang yang terjadi di lapangan
kepada Bawaslu dan Panwaslu. Dan kita sebagai
pemilih, suara yang kita berikan akan sangat menentukan arah dan perkembangan
daerah dalam lima tahun mendatang. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita
menjadi pemilih yang cerdas. Memilih pemimpin yang berkompetensi dan
berintegritas.
(Tulisan ini telah dimuat di kolom
opini Koran harian Haluan, 15 Februari 2018)
Komentar
Posting Komentar