Menyoal
larangan Bercadar di Perguruan Tinggi
(Egip
Satria Eka Putra, Mahasiswa Fakultas Hukum Unand)
Publik tanah air sontak menjadi heboh usai
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka) pada Senin, 5 Maret
yang lalu mengeluarkan surat keputusan yang melarang mahasiswinya untuk
menggunakan cadar. Hal tersebut kemudian menuai kontroversi diberbagai
kalangan. Ditambah setelah itu di Sumatera Barat seorang dosen bahasa inggris
dinokaktifkan oleh pihak kampus IAIN Bukittinggi karena ia memakai cadar saat
berada di kampus.
Polemik larangan bercadar tersebut kemudian
kian hangat dalam perbincangan. Pro dan kontra terhadap pemakaian cadar
tersebut seolah-olah tidak bisa dihentikan perdebatannya. Bagi yang mendukung terhadap
larangan bercadar tersebut karena menilai pemakaian cadar dapat menganggu
interaksi dan komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat.. Namun, tak kalah
banyak pula yang menolak larangan bercadar dengan argumen bahwa kebijakan
tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia.
Pengertian
cadar jika merujuk menurut Wikipedia adalah
kain yang menjadi bagian penutup kepala
atau muka bagi wanita muslim. Cadar adalah salah satu aturan yang
tercantum dalam hukum Islam. Di Indonesia penggunaan cadar sebagai bagian dari
hijab memang belum begitu familiar dan masih dianggap tabu bagi sebagian
kalangan meskipun sudah ada banyak wanita yang menggunakan cadar saat berada di
luar ruangan.
Dalam
perspektif agama Islam hukum mengenakan cadar masih menjadi perdebatan diantara
beberapa kalangan ulama. Jika kita melihat pendapat ulama dari empat mahzab
terkemuka, maka kita akan menemukan pandangan yang berbeda terkait hukum wanita
bercadar. Menurut ulama yang menganut mahzab Hanafi, menggunakan cadar bagi
seorang wanita muslim hukumnya sunnah karena wajah bukan merupakan bagian aurat
wanita. Begitu juga dengan ulama yang menganut mahzab Maliki juga berpendapat
yang sama.
Berbeda
dengan pendapat kedua mahzab diatas, ulama yang menganut mazhab Syafi’
menganggap bahwa aurat seorang wanita dihadapan pria yang bukan mahramnya adalah
seluruh tubuh, sehingga wajib hukumnya seorang wanita mengenakan cadar. Ulama
yang menganut mahzab Hambali juga sependapat mengharuskan wanita untuk
mengenakan cadar penutup wajah. Menurut imam Hambali, seluruh tubuh wanita
adalah aurat dan termasuk juga kuku-kukunya.
Para
ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian
mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Meskipun terdapat
beberapa perbedaan pendapat soal mengenakan cadar tersebut. Namun, dari
beberapa pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan memakai
cadar tidaklah dilarang. Artinya, dalam pandangan agama sudah tidak ada lagi
persoalan memakai cadar, tinggal bagaimana seseorang meyakini mazhab dan
menghormati mazhab yang lainnya.
Pro
Kontra
Muncul
banyak penolakan terhadap pelarangan memakai cadar di perguruan tinggi terutama
terkait kebijakan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang melarang mahasiswinya untuk menggunakan cadar. Beberapa kalangan menilai
bahwa Rektor UIN Sunan Kalijaga telah gegabah membuat kebijakan karena tidak
mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan cenderung
diskriminatif.
Namun,
sebagian menilai kebijakan tersebut tidaklah mengekang kebebasan mahasiswi.
Melainkan bertujuan agar penggunaan cadar tidak membatasi komunikasi antara
mahasiswi dengan dosen. Senada dengan itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) Sulton Fatoni menyatakan bahwa aturan tersebut tidak mengekang kebebasan
mahasiswi dan tidak melanggar HAM karena yang dilarang itu cuman memakai cadar,
bukan menutup aurat. Menurutnya Rektor UIN Yogyakarta dalam konteks sedang
memberlakukan peraturan yang memudahkan proses belar mengajar perkuliahan
dengan cara memilih memberlakukan dua aturan, yaitu kerudung-jilbab dan tidak
bercadar (CNNIndonesia.com (8 Maret 2018).
Disisi lain, Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin mengatakan penerapan aturan seperti itu merupakan otonomi kampus
sehingga Kemenag tidak dapat mengintervensi kebijakan itu. Menurutnya, pihak
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki dasar argument soal pelarangan bercadar,
yaitu lebih pada alasan akademik dibandingkan dengan keagamaan atau teologis.
Alasan akademik itu seperti pertimbangan saat ujian. Dimana apabila mahasiswi
menggunakan cadar dikhawatirkan peserta ujian bukan mahasiswi yang berangkutan
malainkan orang lain, bahkan joki (wartakota.tribunnews.com,8 Maret 2018).
Sedangkan
hal yang berbeda disampaikan oleh Maneger Nasution Wakil Ketua Majelis Hukum
dan HAM PP Muhammadiyah, menyebut bahwa kebijakan tersebut telah mengurangi dan
melanggar hak-hak konstitusi dari warga negara Indonesia. Menurutnya, jika para
mahasiswi itu meyakini penggunaan cadar sebagai pengamalan keagamaan maka hal
itu merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dipenuhi. Maka dari
itu dia menyarankan agar kebijakan tersebut dipertimbangkan dengan bijaksana
(Republica.co.id, 6 Maret 2018).
Inkonstitusional
dan Melanggar HAM
Dalam
hukum formal di Indonesia tidak ada larangan ataupun kewajiban menggunakan
cadar di tempat umum, demikian juga varian penutup wajah lainnya seperti niqab
atau burka. Seluruhnya bersifat opsional, dan kebebasan ini dijamin dalam
undang-undang. Dan menurut penulis,
kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan melarang mahasiswinya
memakai cadar di kampus adalah suatu tindakan yang melanggar konstitusi.
Setidaknya ada beberapa pasal dalam UUD
1945 yang penulis telah dilanggar secara bersamaan oleh Rektor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Dimana kebijakan ini telah melanggar pasal 29 UUD 1945
ayat (2) disebutkan,“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Berbusana adalah bagian dari hak
konstitusional untuk berekspresi yang dilindungi oleh undang-undang. Dan cadar merupakan bagian dari busana. Maka
dari itu kebijakan pelarangan bercadar ini jelas bertentangan dengan UUD 1945
pasal 28E ayat (1) dan (2). Pasal itu mengatur setiap orang berhak memeluk
agama dan beribadah menurut agamanya serta bebas meyakini pikiran, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai hati nurani.
Selain itu, kebijakan pelarangan
bercadar ini telah melanggar hak asasi manusia (HAM) bagi wanita muslim. Dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 22 yang
pada intinya telah menjamin kemerdekaan dan kebebasan bagi setiap orang atau
warga negara untuk memilih agama, keyakinan dan menjalankannya. Dan negara bertanggung jawab dalam
pelaksanaaan, perlindungan serta penegakan HAM ini sebagaimana yang diatur
dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Dan juga setiap orang juga harus bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. Sebagaimana dalam UUD 1946 pasal
28I ayat (2) menyebutkan, “Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu’. Dan tentunya adalah sebuah tindakan yang diskriminatif jika seseorang
dilarang memakai cadar baik itu di kampus
maupun diruang publik lainnya.
Dengan telah jelasnya peraturan yang
mengatur tentang hak asasi manusia, maka sudah saatnya negara dalam hal ini
menjaga dan menghormati setiap pilihan warga negaranya tersebut. Termasuk dalam
berpakaian cadar. Karena sejatinya hak asasi manusia tidak bisa diambil dan
dikurangi dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama menghormati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seseorang.
Pro dan kontra terhadap larangan memakai cadar
ini adalah salah satu wujud dari kebhinnekaan negara Indonesia yang selalu
menjunjung tinggi perbedaan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah jangan
sampai perbedaan tersebut memicu konflik di tengah-tengah masyarakat. Karena
keberagaman yang dikembangkan di Indonesia adalah keberagaman yang otentik dan
inklusif. Walaupun kita berbeda-beda namun kita tetaplah satu.
Komentar
Posting Komentar