“Kau ingin jadi apa? Pengacara,
untuk mempertahankan hukum kaum kaya yang inheren tidak adil?. Dokter, untuk
menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang
baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin?. Arsitek,
untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah?. Lihatlah disekelilingmmu dan
periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat
berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan
sistem yang kejam ini?” (Victor Sergei, Bolshevik).
Potret
mahasiswa sebelum reformasi adalah kaum terpelajar Indonesia yang sangat
dekat dengan “akar rumput’ masyarakat Indonesia. Mereka disamping mengikut
rutinitas perkuliahan, pun juga aktif dalam mengkritisi kebijakan pemerintah
yang tidak berorientasi pada rakyat. Lantang mengkritisi dengan ilmiah
bahkan tidak pernah absen turun ke jalan ketika semua corong aspirasi telah
ditutup. Bagi mereka, kuliah dipendidikan tinggi bukan untuk “menghamba pada kekuasaan”,
melainkan untuk “mengawal kekuasaan”.
Namun, lambat laun kini daya kritis mahasiswa
terhadap kekuasaan perlahan mulai pudar pasca bergulirnya reformasi. Jangankan
dalam konteks kekuasaan negara, lingkungan sekitarnya pun mereka tidak peduli.
Padahal ada begitu banyak persoalan yang harus diperdebatkan. Permasalahan
kampus yang mulai dikomersialisasikan, mahasiswa ditekan agar cepat tamat,
dana kemahasiswaan yang tidak transparan, fasilitas kampus yang tidak
sebanding dengan UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan lain sebagainya. Apakah
mahasiswa meributi hal ini ? tidak, mereka duduk manis dan pasrah dengan
keadaan.
Hal yang lebih memperihatinkannya lagi
lembaga pergerakan mahasiswa hari ini tidak tau lagi dimana taringnya. Malah
kini telah berubah menjadi lembaga-lembaga event
yang bisa dipesan oleh siapa saja, mulai dari menyelenggarakan acara-acara yang
tidak berorientasi untuk membangun gerakan mahasiswa, sampai menyediakan
panggung bagi penguasa untuk menyampaikan kisah-kisah palsunya, hingga tempat bagi
para pengusaha untuk memamerkan harta kekayaannya. Lembaga pergerakan mahasiswa
telah jauh dari jati dirinya.
Bahkan yang lebih membuat perihnya hati
ini, dimana lembaga pergerakan mahasiswa kini dipimpin oleh mereka yang bangga
diberi fasilitasi elit oleh pimpinan kampus dan penguasa. Bahkan tidak malu
diajak jalan-jalan keluar kota hingga keluar negeri pun ada dengan dalih
kunjungan kerja. Pantaskah itu semua?. Dimana letak harga dirimu duhai
mahasiswa?, Untuk itukah kalian kami dukung dan titipkan kepundak kalian segala
cita-cita mulia kami ini?. Hingga begitu bangga memerkan kedekatan dan
kemesraan dengan pimpinan kampus yang telah begitu banyak merampas dan menekan
hak-hak mahasiswa.
Hingga lucunya lagi, dimana para aktivis
mahasiswa hari ini malah sibuk membentuk negara-negara mahasiswa disatu
lingkungan kampus yang sama. Bersitegang bahkan sampai ricuh hanya untuk
memperebutkan wikayah kekuasaan, hanya demi title
“presiden mahaiswa”. Begitulah potret aktivis mahasiswa kini yang begitu mudah
diadu domba. Mereka telah lupa bahwa untuk apa lembaga/negara mahasiswa
didirikan. Semata-mata adalah untuk menggerakan roda pergerakan. Lantas gerakan
yang macam apa yang akan diciptakan jika para aktivis mahasiswa bercerai berai.
Jelas tidak akan ada gerakan tanpa persatuan. Segala macam persoalan itu semua
telah membuat “mandulnya” gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa telah mulai
padam apinya. Gerakan mahasiswa telah hilang marwahnya.
Padahal, diluar sana keadaan sedang
terguncang dan jauh dari rasa aman.
Korupsi yang semakin menggurita, kemiskinan yang kian merajalela hingga
pengangguran yang terus mengkhwatirkan anak bangsa. Dan juga taukah kamu berapa
kini jumlah hutang luar negeri kita?. Jangan sebutkan angka, tetapi katakan
saja dengan apa kita membayarnya?. Hutang yang menggunung dengan bunganya akan
kita bayar dengan cara apa?. Kini, mari
kembali kita tanyakan kepada diri kita masing-masing: apa gunanya kita kuliah
kemana-mana jika rakyat negeri kita sendiri nasibnya kian terlunta-lunta?
Kawan-kawan mahasiswa, kutanyakan pada
kalian semua: apa yang bisa kita banggakan dari pejabat negeri ini?. Apakah
patut kita bangga dengan gaya hidup mereka?. Tidak kawan!. Harusnya kita marah
dan malu melihat mereka. Kita harusnya marah karena omongan pejabat itu tidak
ada yang bermutu. Kita bahkan harusnya malu karena tindakan ceroboh mereka. Dan
diantara mereka adakah yang minta maaf jika terjadi kesalahan?.
Apakah
menteri perhubungan pernah meminta maaf jika terjadi kecelakaan?. Beranikah
menteri pertanian mundur jika panen petani gagal dan harga pengan mahal dan
memberatkan rakyat?. Bahkan, mampukah anggota parlemen mohon ampun kepada
rakyat karena memboroskan anggaran?. Saya rasa itu semua hanya mimpi belaka. Jujur saja saya termenung melihat ini semua. Deretan
ribuan bahkan jutaan mahasiswa hanya duduk rapi tanpa bantahan melihat kondisi
yang ada.
Maka kini, tidak ada cara lain kecuali
untuk kita bangkitkan kembali gerakan. Segera alirkan tiap persoalan sosial
bangsa ini kedalam ruang-ruang diskusi dikampus kita. Pastilah ada mahasiswa
yang tidak mau tunduk dengan keadaan. Kita percaya bahwa pasti ada mahasiswa
yang masih mengenggam keberanian. Lewat tangan-tangan kitalah sejarah perubahan
itu dapat dibentuk.
Kawan, kini sudah waktunya untuk kita
rebut kembali “jalanan itu”. Suarakan protes dan dengungkan pembangkangan.
Nyatakan sikap melawan atas segala bentuk ketidakadilan. Kini saatnya kita
mahasiswa untuk terbangun dari tidur panjang kita. Sudahi untuk mengenang
masa-masa heroik di tahun 1966, 1974 hingga 1998. Saatnya kini kita bulatkan
kembali nyali yang telah lama terbang dan tanggalkan watak kompromis yang perlahan-lahan
jadi tabiat umum.
Hidup Mahasiswa!
(Tulisan ini juga telah dimuat di koran JambiLink, Rabu 20 Maret 2019)
Komentar
Posting Komentar