Masa kampanye pemilu 2019 tersisa hanya
kurang dari satu bulan lagi. Pemilu serentak tahun ini sudah hampir di depan
mata. Dimana dari jadwal yang dirilis
KPU, masa kampanye berakhir pada 13 April 2019 mendatang. Dan menurut penulis
salah satu isu penting yang juga harus kita bahas dan kritisi di Pemilu tahun
ini adalah soal bagaimana
upaya para caleg perempuan dalam melakukan kampanye politik.
Berdasarkan data dari KPU, jumlah calon
legislatif (caleg) DPR RI di pemilu 2019 ini adalah 7.968 orang. Dan sebanyak
3.194 orang diantaranya adalah caleg perempuan. Bahasan tentang kampanye caleg
perempuan ini penting menurut penulis karena menyangkut tiga hal. Pertama, karena selama ini upaya KPU
menetapkan jumlah minimal perempuan calon anggota DPR tidak berbanding lurus
dengan caleg perempuan yang terpilih.
Kedua,
caleg perempuan hanya dianggap sebagai pengepul suara untuk caleg laki-laki.
Dimana masih
sedikit caleg perempuan yang berada di nomor urut teratas . Perempuan lebih
dominan ada di nomor urut 3 sampai dengan nomor urut 6, yang menempati nomor
urut 1 hanyalah 19 persen (Perludem, 2018). Kondisi ini menunjukkan bahwa kaum hawa hanya menjadi
"ornamen" pelengkap syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Secara
substansial, narasi politik partai politik masih sangat maskulin. Partai
politik belum mampu menempatkan perempuan secara proporsional dengan laki-laki,
khususnya dalam nomor urut caleg.
Padahal, merujuk
data Puskapol UI (2014), keterpilihan caleg di nomor urut 1 sangat tinggi,
ditandai mayoritas anggota DPR terpilih di nomor urut 1 (62,14 persen).
Berselisih sangat jauh dengan nomor urut 2 (16,96 persen) dan nomor urut 3
(4,46%). Dengan begitu dapat kita akui bahwa selama ini
keterwakilan perempuan di partai politik hanyalah sebagai pelengkap dalam
mengisi ruang–ruang kosong saja.
Ketiga, caleg perempuan
kerap terkandala oleh persoalan sosial-personal. Ada kegagapan dalam benak
caleg perempuan karena harus berhadapan dengan petahana, berhadapan dengan
laki-laki, atau bahkan karena masih harus minta izin pada suami sebelum
memutuskan diri untuk maju sebagai caleg. Kemudian, caleg perempuan
juga rentan di curangi. Salah satu contohnya yaitu ketiadaan batasan waktu
perhitungan suara mengakibatkan perhitungan suara dilakukan hingga larut malam.
Perempuan dengan segala keterbatasannya kerap dirugikan, karena sering
kehilangan suara.
Kondisi di atas menunjukkan sebuah fakta
bahwa perjuangan perempuan dalam lembah politik tidaklah mudah. Dengan kata
lain, politisi perempuan dalam hal ini para caleg harus punya strategi yang
efektif dan juga kreatif untuk dapat memenangi kompetisi di Pemilu. Hal itu
penting supaya para caleg perempuan pada Pemilu 2019 nanti tidak kemudian hanya
menjadi ornamen ataupun pelengkap caleg laki-laki semata.
Ada beberapa hal yang menurut hemat
penulis dapat dilakukan oleh para caleg perempuan agar dapat menghasilkan
kampanye yang kreatif sehingga membuat masyarakat lebih tertarik untuk memilih
caleg perempuan. Diantaranya yakni: Pertama,
caleg perempuan perlu melakukan pemetaan politik dan membentuk zona marking.
Pemetaan politik tersebut bisa melalui survei ataupun riset lainnya untuk
mengetahui demografi pemilih dan peta dukungan pemilih di dapil yang
bersangkutan. Ini untuk menentukan ke mana sang caleg harus kampanye (zona
merah) dan isu apa yang harus diangkat.
Selain itu, analisis pembagian zona kampanye,
baik internal atau pun eksternal partai politik, juga harus diperhatikan. Hal
ini bisa menjadi strategi para caleg perempuan dalam menentukan titik kampanye
sesuai isu dan kebutuhan dapil. Cara kampanye yang dilakukan tentu harus
berbeda dari calon lain agar tidak dipandang klasik. Apalagi, tipe pemilih
sekarang tidak lagi melihat jenis kelamin sebagai dasar utama menentukan
pilihannya, tetapi melihat siapa calonnya, siapa yang lebih dapat mereka percaya
untuk mengantarkan harapan-harapan rakyat.
Kedua, Hal
yang juga harus diperhatikan oleh caleg perempuan adalah yakni pada visi-misi
yang diusung harus lebih diutamakan pada isu perempuan dan anak. Ada banyak isu
perempuan dan anak yang dapat disajikan untuk bisa meraih simpati pemilih
perempuan bahkan juga laki-laki. Misalnya soal kesehatan, keluarga, pendidikan,
gender, tenaga kerja, usaha kecil dan menengah. Hal ini bisa sangat efektif
dikarenakan secara populasi jumlah pemilih perempuan lebih banyak ketimbang
laki-laki.
Ketiga,
Caleg perempuan harus mampu menciptakan suasana kampanye yang inovatif,
kreatif, dan edukatif. dengan
menciptakan “ruang politik” yang sehat di media sosial. Karena berdasarkan
hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun
2017, kelompok umur 19-34 mendominasi pengguna internet (49,52 persen). Angka
yang besar ini tentu dapat berperan menjadi alat yang jitu lagi ampuh bagi
caleg perempuan untuk mensosialisasikan visi-misi dan program politiknya.
Tiga cara diatas menurut hemat penulis
dapat menjadi “senjata jitu” bagi caleg perempuan untuk memenangkan pertarungan
yang keras di pemilu tahun ini. Dan penulis juga berharap semoga semua pihak
bisa lebih obyektif dalam melihat caleg perempuan yang tidak hanya dilihat dari
sisi negatifnya saja. Keberadaan perempuan di parlemen amatlah penting,
dikarenakan berperan untuk mengambil beberapa kebijakan strategis yang bisa
menguntungkan kaum perempuan. Karena yang paham betul dengan kondisi dan
kebutuhan dari perempuan tentu perempuan itu sendiri. Oleh karena itu,
janganlah mengesampingkan caleg perempuan. Pilihlah mereka karena mereka memang
punya potensi dan kapasitas!.*
(Tulisan ini sudah dimuat di koran Padang Ekpres, Sabtu 16 Maret 2019)
Komentar
Posting Komentar