Melalui tulisan ini penulis ingin membahas
dan mengajak para pembaca semua untuk sejenak berpikir dalam tentang baik buruknya
caleg Milenial ini. Karena usia yang masih muda penulis rasa memang perlu
menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi perdebatkan terutama dalam konteks
representasi politik. Sebab ada tiga jenis caleg muda berdasarkan latar
belakang. Di antaranya, kader berprestasi, tokoh populer dan bagian dari
politik dinasti.
Fenomena caleg Milenial menurut penulis
perlu menjadi diskursus yang mendalam. Mengingat begitu banyak persoalan yang
kini telah menjadi peredebatan disana-sini. Beragam persoalan itu seperti: Pertama, Dimana caleg muda/Milenial
masih diidentikan dengan citra yang sekedar “main-main” saja. Sekedar hanya
ikut-ikutan karena memiliki popularitas. Walaupun memang ada juga caleg organik
yang berdasarkan kemampuan.
Kedua, menyoroti banyak partai yang kini masih belum serius
memajukan caleg muda. Mereka kerap terganjal alasan pragmatis. Mendapatkan
sumbangan dana. Kondisi ini kerap menyisihkan kaum muda dari arena pertarungan.
Karena partai biasanya akan lebih memilih mereka yang punya modal. Sebab tidak
akan membebani partai untuk meraih suara. Bahkan sebaliknya, mereka malah bisa
diandalkan untuk menyumbangkan materi ke parpol.
Alasan selanjutnya yang begitu
mengkhawatirkan adalah hadirnya para anak muda di kontestasi pemilu sebagai
caleg hanya sebagai tempat “pelarian” semata. Karena pada Umumnya
caleg milenial ini ada yang baru lulus dari perguruan tinggi, malahan ada yang
masih kuliah, belum mempunyai pekerjaan relatif mantap bahkan tidak jarang ada
yang masih menganggur alias tidak punya pekerjaan paska lulus dari perguruan
tinggi atau SMA. Maka tidak salah jika adanya anggapan atau tudingan menjadi caleg
hanya untuk “berburu” pekerjaan.
Keempat, hal
yang menjadi sorotan dari caleg Milenial adalah diliat dari segi psikologisnya.
Usia yang relatif muda bisa dianggap belumlah terlalu dewasa, belum matang dari
segi pemikiran, pun juga belum stabil dari segi emosionalnya. Maka ini yang
kemudian menjadi ke khawatiran bersama ketika hadirnya banyak anak muda di
tataran politik praktis yang kemudian akan memberikan dampak yang tidak baik
bagi keberlangsungan kehidupan politik dinegeri ini. Dengan emosional yang
belum terkendali kita takutkan berdampak buruk terhadap kinerjanya ketika telah
duduk di parlemen nanti. Maka patut kita curigai jika hadirnya caleg milenial
hanya sebagai “ambisi sesaat” saja.
Namun
meskipun begitu, Maraknya calon legislatif (Caleg) berusia muda tentunya juga
menjadi magnet tersendiri pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 mendatang
yang berdasarkan teori generasi yang dibuat William Strauss dan Neil Howe,
mereka adalah tergolong Generasi Y alias Milenial, orang-orang yang dianggap
cerdas, tidak memiliki rasa takut, berkeras menentukan masa depan mereka
sendiri. Keberanian dan semangat mereka untuk maju sebagai caleg untuk ikut berkontestasi dipileg
2019 nanti haruslah tetap didukung dan diapresiasi.
Tantangan di Pemilu 2019
Sebenarnya anak muda dan politik adalah
dua elemen atau bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan suatu bangsa,
karena dari sisi itulah pemuda kita dapat memberikan kontribusinya. Harus ada
generasi pengganti yang matang dan lebih inovatif dalam membangun bangsa.
Dengan terjunnya anak muda ke dunia politik maka diharapkan membawa
perubahan-perubahan dalam demokrasi kita kearah yang lebih baik lagi.
Namun terdapat berbagai tantangan bagi anak
muda saat ini/Milenial untuk berkiprah dalam politik dan memenangkan Pemilu
2019. Sejumlah tantangan tersebut antara lain: Pertama,
masyarakat pemilih masih meragukan atau belum yakin akan kapasitas caleg-caleg
milenial. Maka, tantangan ini oleh caleg milenial harus bisa dihadapi dengan
menunjukkan kapasitasnya, kompetensinya dan terutama integritasnya kepada
masyarakat untuk myakinkan bahwa dirinya (meskipun muda) bukan sembarang caleg,
tetapi caleg yang istimewa, yang memang bisa dipercaya sebagai wakil rakyat yang
amanah bilamana terpilih.
Kedua, caleg milenial yang baru pertama
nyaleg harus berhadapan dengan kompetitor seperti caleg petahana atau kalau
yang bukan petahana tetapi caleg yang berlatar belakang sosial yang jauh lebih
hebat daripada caleg milenial. Caleg petahana ada yang satu periode dan ada
yang lebih dari satu periode.
Menghadapi
caleg kompetitior yang lebih hebat dari caleg milenial ini, baik dari satu
partai atau dari lain partai, caleg milenial yang masih miskin pengalaman harus
bisa membaca sepak terjangnya, melihat strategi dalam terjun di masyarakat dan
menelaah janji atau harapan yang disampaikan kepada masyarakat serta
kepribadiannya. Dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan caleg kompetitor,
maka akan bisa ditentukan langkah yang relatif tepat untuk bisa mengambil
peluang dalam mendekati dan menarik simpati masyarakat khususnya pemilih
pemula.
Perlu
diingat bahwa masyarakat pemilih secara psikologis cenderung akan memilih caleg
yang pernah bertemu, menyapa, menyambangi, bertegur sapa, dan yang ada
kedekatan emosional setelah ada kecocokan visi, misi dan program yang diusung
kandidat. Untuk itu, caleg milineal harus rajin melakukan pendekatan dengan
hati, selalu berkunjung, menyapa, bersilahturahmi dengan masyarakat di dapilnya
secara ramah. Jadikan masyarakat jatuh hati kepada caleg milenial.
Ketiga, tantangan
biaya politik yang dibutuhkan. Ikut kontestasi politik kalau hanya modal
keberanian dan idealisme hanya mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Modal
uang sangat dibutuhkan dalam kontestasi politik untuk biaya berbagai keperluan
yang bisa mendukung dalam proses meraih kemenangan, seperti biaya transportasi,
sosialisasi, membuat alat peraga kampanye, souvenir, sumbangan ke parpol, biaya
saksi, komsumsi dan lain-lain. Memang biaya politik jumlahnya relatif sesuai
kebutuhan dan kemampuan caleg.
Namun
ada asumsi (kendati tidak selalu benar) bahwa dengan modal dana yang cukup
memadai relatif mempunyai harapan besar bisa meraih kemenangan. Pada umumnya
caleg milenial belum mempunyai sumber dana yang cukup untuk biaya politik
mengingat umumnya caleg milineal ada yang baru lulus kuliah atau belum bekerja
atau kalau sudah
bekerja belum mempunyai dana memadai.
bekerja belum mempunyai dana memadai.
Strategi yang dapat ditempuh untuk
persoalan yang satu ini adalah dengan meminimalkan pengeluaran ongkos politik dengan
cara mencari panggung atau memanfaatkan panggung sosial untuk menebar pesona
agar dikenal oleh masyarakat. Selain itu hal yang paling efektif untuk
dilakukan adalah dengan menciptakan “ruang politik” yang sehat di media sosial.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
di tahun 2017, kelompok umur 19-34 mendominasi pengguna internet (49,52
persen). Angka yang besar ini dapat berperan menjadi alat yang jitu nan ampuh
untuk mensosialisasikan visi-misi dan program politik.
Pemilu
2019 merupakan waktu yang tepat bagi anak muda/politisi muda untuk merebut
kepemimpinan dan menjadi pemimpim politik di parlemen. Pemilu bukan hanya
sekadar momen di mana masyarakat yang telah memiliki hak pilih untuk memilih
para wakil rakyat, namun di dalam pilihan mereka tersebut tersimpan harapan
yang sangat besar dalam mengubah masa depan bangsa Indonesia. Dan Anak-anak muda ini kita harapkan dapat
memberikan warna baru bagi kemajuan politik di Indonesia dengan memanfaatkan
potensi dan peluang yang ada. Kita
sangat berharap tentunya ketika duduk di
parlemen nanti, politisi muda tidak hanya duduk dan diam saja, namun benar-benar
mampu berbicara lantang menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
(Tulisan ini juga telah dimuat di Harian Khazanah, Selasa 1 Maret 2019 )
Komentar
Posting Komentar