Negara Agraris Jadi Miris!
(Egip Satria Eka
Putra, Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara, FH-Unand)
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Maka, melalui momentum hari Tani Nasional 24 September 2018
ini, patut kita renungi bahwa apakah cita-cita luhur tersebut telah diwujudkan
oleh negara, terutama terhadap petani diseluruh Indonesia? atau malah
sebaliknya para petani di negeri yang konon katanya sebagai negara agraris ini
malah semakin menjerit meratapi nasibnya yang semakin miris.
Nasib petani di Indonesia kian hari malah
semakin sulit. Mereka terancam, dengan berbagai macam persoalan. Mulai dari keterbatasan
lahan garapan, hasil produksi pertanian yang tidak memadai, harga hasil
pertanian yang rendah sampai persoalan impor beras yang membuat petani semakin tercekik.
Dalam persoalan impor beras, pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) lagi-lagi akan membuka kembali keran
impor beras sebanyak 1.000.000
ton hingga September 2018. Kebijakan impor beras yang katanya
dilakukan untuk menambah stok beras yang akhir-akhir ini mengalami penurunan. Menteri perdagangan menegaskan bahwa hal ini dilakukan
berdasarkan hasil rakor yang dihadiri
oleh menko perekonomian, mentan dan dirut perum Bulog. Dan langkah ini diambil
oleh Kementrian Perdagangan atas permohonan Bulog dengan sistem tender.
Kebijakan impor beras sendiri menarik
untuk dicermati. Sebab menurut dirut
perum Bulog sendiri, Budi Waseso menyatakan bahwa stok beras di gudang masih
aman dan tidak perlu dilakukan impor hingga akhir tahun 2018 dan saat ini kita
berhasil swasembada beras. Jelas ini sebuah ironi. Dimana, adanya
ketidaksesuaian terhadap apa yang dikatakan Mendagri dengan dirut Bulog
sendiri. Ini menjadi tanda tanya kepada kita bahwa apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Drama apakah gerangan yang sedang diperankan oleh rezim hari ini?.
Ini jelas
menarik untuk kita kritisi. Sebab kebijakan impor beras ini sendiri berkorelasi
dengan ketahanan pangan Indonesia. Bagaimana tidak, negara dengan penduduk
lebih dari 250 juta jiwa memerlukan beras sebagai bahan makanan pokok mereka.
Indonesia yang selalu disebut negara agraris, subur dan sebagainya ternyata
tidak mampu "memberi makan" penduduknya, sehingga untuk urusan nasi
saja harus impor.
Indonesia
adalah negara yang agraris (pertanian), sektor pertanian merupakan sektor yang
menyerap tenaga kerja cukup tinggi, khususnya pangan dan industrialisasi pangan
menjadi pilihan karena posisinya yang berdasar sumber-sumber sendiri dan
bertitik sentral pada masyarakat pedesaan sebagai petani yang menjamin
kemandirian ekonomi dan ketahanan pangan dalam negeri.
Hal itu semakin ditegaskan, dimana dari
data BPS pada Februari 2017 menunjukkan bahwa bidang pertanian, perkebunan,
kehutanan dan perikanan menempati bidang kerja tertinggi di Indonesia mencapai
39.678.453 jiwa. Banyak jiwa yang tergantung kehidupannya dalam sektor agraris.
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan
yang sangat mendasar bagi petani adalah terbatasnya jumlah lahan/ luas lahan
yang di gunakan petani sebagai sebagai media tanam. Lahan yang luas akan mampu
dimanfaatkan oleh petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman dan akan
menunjang produktivitas tanaman. Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari
bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD
Negara Republik Indonesia 1945.
Namun, faktanya dilapangan bahwa alih
fungsi lahan khusunya di Sumatera barat terus terjadi setiap tahunnya. Karena
menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar, Candra mengatakan bahwa
alih fungsi lahan di Sumatera Barat mencapai 600 Ha per tahunnya untuk membangun perumahan dan
perkantoran.
Ini merupakan suatu peristiwa yang
menyedihkan bagi petani. Sebagai Negara agraris Indonesia perlu untuk menjamin
penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan dan itu tertuang dalam
UU NO.41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan,
bahwa kawasan dan lahan pertanian akan dilindungi dan menjamin tersedianya
lahan pertanian.
Menurut data statistik lahan pertanian
2012-2016 (BPS) luas lahan sawah non irigasi mengalami penurunan yakni berturut
turut 66.337Ha pada tahun 2012, 43.554Ha pada tahun 2013, 43.273Ha pada tahun
2014, 43.003Ha pada tahun 2015, dan 41.155Ha
pada tahun 2016. Padahal Bapak Jokowi-JK sendiri dalam janji politiknya akan
meningkatkan kepemilikan lahan petani menjadi rata-rata 2 hektar agar
kesejahteraan petani meningkat.
Melihat kondisi yang ada saat ini sudah
seharusnya pemerintah sadar bahwa keputusan untuk selalu mengandalkan impor
beras manakala kondisi cadangan pangan (read : Beras) terbatas, bukanlah solusi yang terbaik untuk mengatasi
permasalahan pangan kita. Pemerintah tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan
ketahanan pangan dan pertanian manakala penyelesaian masalahnya bukan pada
pokok sumber masalah melainkan hanya dari permasalahan-permasalahan yang muncul
di permukaan saja.
Maka tentu, Pemerintah punya PR besar dalam
mensejahterahkan petani. Selain harus menstabilkan harga, menjamin ketersedian dan
hak petani akan lahan pertanian, pemerintah juga punya tanggung jawab besar
untuk terciptanya swasembada pangan. Dan Swasembada pangan merupakan langkah yang harus diambil oleh
pemerintah saat ini dalam memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang melimpah
dan dapat memperbaiki ketergantungan Indonesia akan impor. Dan dengan begitu
juga membuat petani kita bisa menjadi sejahtera dan makmur, petani yang
berdaulat. Semoga!*
(Tulisan ini telah dimuat di kolom
opini Koran Padang Ekspres, 26 September 2018)
Komentar
Posting Komentar