PEREMPUAN DAN AMBISI MEMIMPIN
Pilkada serentak 2018 semakin menarik
untuk kita ikuti. Pasalnya, para calon kepala daerah dan calon wakil kepala
daerah yang menjadi peserta pilkada tahun ini tidak hanya berasal dari kalangan
kaum laki-laki saja, melainkan juga berasal dari kaum perempuan. Mereka ikut
meramaikan pesta demokrasi daerah jilid tiga ini di beberapa daerah di tanah
air. Sehingga pilkada tahun ini menjadi semakin berwarna.
Kompas.com (21/2/2018) memberitakan, Peneliti
Perkumpulan untuk Permilu dan Demokrasi (Perludem), Maharddhika mengatakan, ada
101 perempuan dari 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah pada Pilkada
Serentak 2018 yang digelar di 171 daerah. Pilkada 2018 akan diikuti oleh 8,85
persen perempuan. Angka ini meningkat meski tak signifikan jika dibandingkan
Pilkada 2015 dan 2017. Pada Pilkada 2015 hanya mencapai 7.47 persen. Ada 123 perempuan dari 1.646 yang memenuhi
syarat sebagai calon kepala daerah. Sedangkan pada Pilkada 2017, partispasi
perempuan justru turun ke angka 7.17 persen. Saat itu hanya ada 48 perempuan
dari 670 pendaftar bakal calon kepala daerah.
Menurut Maharddhika sebagaimana dirilis
Kompas.com, Rabu (21/2) menyatakan,
perempuan-perempuan yang ikut Pilkada 2018 mendaftar di 78 daerah dari
171 daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2018. Mereka tersebar di tujuh
provinsi, 45 kabupaten dan 26 kota. Tahun ini ada 49 perempuan mendaftar
menjadi calon kepala daerah. 31 orang mendaftar jadi calon bupati dan 16 orang
mendaftar sebagai calon wali kota.
Sementara itu, ada juga 52 perempuan mendaftar menjadi calon wakil
kepala daerah. Lima di antaranya mencalonkan diri menjadi wakil gubernur, 28
orang mencalonkan diri jadi wakil bupati dan 18 orang mencalonkan diri jadi
wakil wali kota.
Diantara nama-nama tokoh perempuan yang
ikut terjun dalam kontestasi di pilkada 2018 ini adalah seperti Khofifah Indar
Parawansa di Jawa Timur dan Karolin Margret Natasa di Kalimantan Barat yang
mendaftar sebagai calon gubernur perempuan. Sedangkan yang jadi calon wakil gubernur seperti Ida
Fauziyah di Jawa Tengah, Puti Guntur Soekarno di Jawa Timur, Chusnunia di
Lampung, Sitti Rohmi Djalilah di Nusa Tenggara Barat, serta Emelia Julia
Nomleni di Nusa Tenggara Timur (Tribunnews.com,21/2/2018 ).
Dari data diatas menunjukan kepada kita
bahwa sudah mulai meningkatnya partisipasi perempuan dalam kepemimpinan publik.
Terutama dalam kepemimpinan di pemerintahan daerah. Hal ini tentu patut menjadi
apresiasi bagi kita bersama. Dimana politik
yang selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang
tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Hal itu kemudian terbantahkan karena perempuan juga mampu dan
berani menerjuni dunia politik.
Peluang perempuan untuk menjadi kepala
daerah, saat ini memang terbuka lebar. Tidak ada bedanya dengan laki-laki. Hal
itu dijamin di dalam konstitusi negara kita. Terdapat dalam pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Kemudian di pertegas lagi di dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan
walikota pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan, ”Setiap
warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan
dicalonkan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan
calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota”.
Dari landasan hukum diatas secara tegas
memberikan peluang kepada perempuan
untuk ikut maju menjadi kepala daerah. Sebab siapa pun baik perempuan
maupun laki-laki berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
termasuk di pemerintahan daerah. Asalkan dapat memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan. Maka dengan begitu baik calon laki-laki maupun calon
perempuan sama-sama berpeluang memenangkan pertarungan di pilkada mendatang.
Hadirnya sosok perempuan ke kancah
dimensi publik baik itu orang nomor satu di Indonesia dan di daerah-daerah
membawa kecenderungan baru dalam konteks kekinian. Perempuan ingin dunia
memperlakukan kaumnya secara proporsional. Kecenderungan inilah yang salah
satunya berimplikasi pada terstimulusnya kaum perempuan bersaing dengan kaum
laki-laki untuk menjadi pemimpin.
Ulama
kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat bahwa memperbolehkan
wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat
An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga
atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki – laki
adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang
menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan.
Yusuf Al-Qordhawi juga menambahkan
bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah
memiliki kedudukan yang sama. Hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia
mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama,
menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita
memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang
kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi
wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Namun
perlu diakui, bahwa perempuan pun memiliki kelemahan jika menjadi seorang
pemimpin. Menurut penulis setidaknya ada dua hal yang membatasi perempuan jika
menjadi pemimpin. Pertama, keterbatasan fisik dan ruang lingkup gerak yang
dimiliki perempuan. Laki-laki diciptakan dengan kondisi fisik yang memang lebih
kuat dan wanita setingkat di bawahnya, hal ini membuat penyikapan terhadap
seorang pemimpin perempuan akan berbeda dengan pemimpin laki-laki.
Kekurangan pemimpin perempuan
selanjutnya adalah tanggung jawab mereka sebagai seorang perempuan: seorang
istri dan juga ibu yang sebenarnya sudah cukup berat untuk dilakukan. Keduanya
merupakan tanggung jawab dan peran yang tidak boleh ditinggalkan. Karena apabila
perempuan melupakan perannya sebagai seorang istri dan seorang ibu, maka akan
berdampak besar terhadap kehidupan keluarga. Keluarga menjadi tidak terurus dan
perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi terancam.
Tulisan ini bukan bermaksud meragukan
calon kepala daerah perempuan. Tidak juga meremehkan kepemimpinan perempuan
dalam pemerintahan. Melainkan, sekedar memberikan gambaran kepada kita semua
kelebihan dan kekurangan apabila perempuan maju menjadi kepala daerah. Serta
mengingatkan kepada setiap perempuan yang ingin maju menjadi kepala daerah agar
benar-benar telah mempertimbangkan terlebih dahulu dengan matang.
Bertitik tolak dari uraian diatas,
maka penulis rekomendasikan beberapa hal kepada calon kepala daerah perempuan
jika nantinya terpilih menjadi kepala daerah. Pertama, tetap menjalankan tugas
dan kewajiban utamanya yaitu sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Karena
seorang perempuan adalah “madrasah pertama” bagi anak-anaknya. Karena bagaimana
jadinya nanti seorang anak ketika dawasa tergantung kepada bagaimana seorang
ibu dalam mendidik anak-anaknya sejak kecil.
Kedua, melahirkan banyak kebijakan yang
menunjukkan keberpihakan pada perempuan. Karena kebijakan yang menunjukkan
keberpihakan kepada perempuan sendiri diperlukan mengingat pemberdayaan
perempuan adalah satu dari 17 tujuan pembangunan keberlanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) global periode 2016-2030 untuk meningkatkan
kesejahteraan secara merata.
Ketiga, ketika nanti terpilih dan
diberi amanah memimpin, maka ciptakanlah suasana yang kondusif, tentram dan
damai. Mampu mencarikan banyak solusi terhadap berbagai macam persoalan yang
ada. Terpenting lagi adalah menjalankan amanah dengan jujur dan seadil-adilnya.
Tidak malah kemudian melakukan penyimpangan terhadap jabatan dan korupsi.
Karena biar bagaimana pun sejauh ini kasus pejabat perempuan yang terlibat
kasus korupsi juga lumayan banyak.
Maka
dari itu, pemimpin perempuan diharapkan bisa memberi sentuhan kelembutan dalam pemerintahan
agar kehidupan dalam pemerintahan menjadi damai dan santun. Kehadiran perempuan
tentu akan membuat kehidupan dalam pemerintahan semakin bergairah dan penuh
dinamika dalam kehidupan demokrasi. Pro kontra pemimpin perempuan memang tidak
habis menjadi polemik di pelbagai belahan dunia. Namun perlu diakui sentuhan
perempuan diperlukan agar pemerintah mempunyai banyak pertimbangan untuk
menentukan kebijakan.
(Tulisan ini telah dimuat di kolom
opini Koran harian Haluan, 30 Maret 2018)
Komentar
Posting Komentar